Robohnya Gedung dan Runtuhnya Perhatian, Tragedi Al Khoziny dan Krisis Kebijakan Pesantren
Meskipun pada
artikel tersebut dijelaskan secara rinci penyebab peristiwa dari sudut pandang
teknis konstruksi bangunan dan mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia, namun
hal ini kurang menjawab permasalahan yang sedang terjadi, terkhusus yang
terjadi dalam dunia pesantren. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu disoroti
agar peristiwa di Al Khoziny menemukan jawaban yang lebih solutif.
Pertama,
kelalaian pimpinan pesantren yang dianggap sebagai otoritas tertinggi karena
selaku pemilik, penanggung jawab dan pengambil keputusan proyek Pembangunan
gedung. Hal ini memang bisa dibenarkan, namun tidak bersifat absolut. Kenapa dianggap
sebagai otoritas tertinggi? Bagaimana peran pemerintah sebagai penyelenggara
dan penjamin pendidikan di Indonesia? Ketika memposisikan pimpinan pesantren
sebagai satu-satunya pihak yang memiliki otoritas, justru kita berkontribusi
dalam menjauhkan peran dan elaborasi pemerintah terhadap lembaga pendidikan.
Yang kedua,
perlu kita ketahui bersama, bahwa banyak pesantren yang dibangun secara
swadaya, bahkan sejak pengadaan tanah, pendirian bangunan hingga ke urusan
operasional harian. Padahal kita sering mendengar dukungan moril dan materiil
yang akan diberikan pemerintah kepada pesantren. Dengungan itu bahkan menggema
keras setiap lima tahun sekali, namun jarang sekali menemukan realisasi konkret
di lapangan. Faktanya, hingga hari ini pemerintah cenderung mengesampingkan
perhatian terhadap pondok pesantren. Kebijakan yang ditelurkan pemerintah
kepada pesantren tidak sekomprehensif dibanding dengan sekolah negeri dan
swasta.
Dari segi
dukungan regulasi, untuk sekolah pemerintah memeiliki UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas, PP No 17 Tahun 2010, PP No 19 19 Tahun 2005, UU No 14 Tahun
2005, Permendikbud hingga beragam Perda yang ada di banyak daerah. Namun,
dukungan regulasi untuk pesantren hanya ada pada UU No 18 Tahun 2019 dan Perda
Pesantren yang baru sedikit sekali daerah memilikinya. Padahal antara sekolah
dan pesantren sama-sama berkedudukan sebagai lembaga pendidikan resmi di
Indonesia.
Oleh karenanya,
kita juga harus memasukkan fakta ini sebagai salah satu faktor penyebab
ambruknya bangunan pesantren Al Khoziny. Mengapa demikian? Karena secara tidak
langsung praktek ketidakpatuhan pesantren terhadap regulasi bangunan yang
ditetapkan oleh pemerintah juga berakar dari sini. Keengganan pesantren
mengurus perihal administrasi dapat dipahami dari ungkapan seperti ini,
"Buat apa kita ngurusi administrasi dan perijinan, jika sejak awal hingga
sudah berjalan tidak ada perhatian seperti bantuan insentif yang kuat dari
pemerintah".
Yang ketiga,
bahwa rumitnya birokrasi juga menjadi batu sandungan bagi dunia pendidikan.
Sebagai contoh, perijinan bangunan ada di DPUPR namun legitimasi pendidikan
pesantren berada di Kemenag. Sangat memungkinkan jika antar lembaga tersebut
tidak sinkron dalam melaksanakan tugasnya, pesantren menjadi korban kesenjangan
kebijakan. Hal inilah yang juga membuat pengelola pesantren merasa permasalahan
administrative yang harus dilakukan sangat rumit, bahkan jika dibandingkan
dengan kegiatan belajar mengajar di pesantren.
Beberapa faktor
di atas menurut saya menjadi pelengkap pertimbangan yang kuat dalam mengamati
tragedi di Al Khoziny. Melihat tragedi Al Khoziny dari kacamata hukum memang
satu hal yang penting, terkhusus agar menjadi pengingat dan upaya preventif supaya
kelak tidak terjadi hal demikian. Namun, sebagai masyarakat yang berbudi luhur,
jangan sampai kita melihat suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja.
Kita juga perlu
memahami, bahwa motif pimpinan pesantren dalam penyelenggaraan pesantren sangat
berbeda dengan pengusaha, yang berorientasi kepada keuntungan semata. Namun,
terkadang karena minimnya dukungan pemerintah, mereka sering memikul beban
ganda, baik sebagai pendidik, pengelola, hingga menjadi fundraiser.
Ketidaksesuaian
administratif bukan selalu bentuk pelanggaran, namun juga menjadi refleksi akan
kegentingan sosial. Sebagai warga negara yang bijak, seharusnya melihat
pesantren bukan hanya sebagai objek hukum, namun sebagai mitra pembangunan
pendidikan dan moral bangsa. Karena betatapun, eksistensi dari pesantren sudah
berkontribusi positif dalam pembangunan bangsa, bahkan sebelum republik ini
berdiri.
Dengan segala
rasa duka yang mendalam, kami turut merasakan kesedihan yang dialami keluarga
korban maupun pesantren. Ketika negara tidak sepenuhnya hadir, pesantren secara
mandiri mengambil peranan itu dengan segala keterbatasan. Maka terkadang
kegagalan administratif bukan karena niat melanggar hukum, tetapi karena
ketimpangan antara kebutuhan riil dan dukungan struktural.
Solusinya bukan
dengan menyalahkan salah satu pihak,tetapi membangun kolaborasi antara negara
dan pesantren di mana hukum menjadi panduan, dan kemanusiaan menjadi
dasar.
Semoga
kritik-kritik yang membangun akan terus diberikan kepada pesantren, demi
melanjutkan keistiqamahan dalam membangun cita-cita Indonesia. Juga semoga ke
depan hal-hal seperti ini dapat dihindari sebagai bukti nyata bahwa antara
pemerintah dan masyarakat bersatu padu dalam kontribusi positifnya membangun
Indonesia tercinta.
Post a Comment