Pesantren itu Feodal dan Jualan Agama?
Pesantren lagi-lagi menjadi “objek” kegaduhan masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini. Belum selesai duka masyarakat pasca ambruknya gedung Ponpes Al
Khoziny, khalayak disuguhkan berita tentang framing negatif pesantren
yang ditayangkan pada program Expose Uncensored milik Trans 7. Mengapa tayangan
itu dinilai framing negatif dan jauh dari etika jurnalistik? Ada
beberapa alasan yang cukup kuat untuk mendasarinya:
1. Cuplikan yang ditayangkan adalah sosok KH Anwar Manshur, pengasuh
Ponpes Lirboyo. Pihak Trans 7 tidak mengkonfirmasi beliau sedang melakukan
kegiatan apa, sehingga tidak bisa dianggap “sedang menerima setoran”,
sebagaimana kalimat yang disampaikan sang narator, “kiai yang kaya raya, tetapi
santri yang kasih amplop”.
2. Tidak adanya kalimat, “video ini hanya ilustrasi” pada cuplikan
video. Sehingga, pernyataan dari narator dianggap sebagai tuduhan, karena
dengan jelas menyatakan bahwa KH Anwar Manshur adalah pelakunya, tanpa ada
bukti konkret yang bisa dipertanggung jawabkan.
3. Tidak adanya data pendukung yang kuat, seharunya Trans 7
menunjukkan data kuat dalam pernyataan, “inilah sebabnya sebagian kiai makin
kaya raya, mobilnya mewah hingga harga miliaran”. Karena jika tidak, arti dari
kata “sebagian” akan dimaknai masyarakat secara bias.
Ketiga poin di
atas adalah bukti kecil penggiringan opini yang dilakukan oleh Trans 7, karena
etika jurnalistik tidak membenarkan adanya narasi tanpa didukung bukti yang
kuat. Namun terlepas dari itu, publik ikut gaduh dan memanfaatkan kejadian ini
sebagai momentum untuk mengkritik pesantren. Dimana hal ini kemudian melahirkan
diskursus yang meluas, yang kiranya perlu ditanggapi dengan argumen yang kuat.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, sebagian masyarakat menilai pesantren adalah lembaga yang feodal dan menjadi ladang “jualan agama”. Pandangan semacam ini sering kali berangkat dari pengalaman terbatas atau pengamatan sepihak terhadap suatu pesantren tertentu.
Pesantren dan
Tuduhan Feodalisme
Tidak bisa
dipungkiri bahwa sebagian pesantren masih memiliki hierarki yang sangat kuat.
Kiai menempati posisi sentral, menjadi sumber otoritas keilmuan sekaligus
moral. Dalam kultur pesantren, santri dididik untuk menghormati dan meneladani
kiai sebagai bentuk ta’dzim atau penghormatan terhadap guru.
Namun, banyak
pihak keliru memahami ta’dzim sebagai bentuk feodalisme. Padahal,
penghormatan dalam konteks pesantren bukanlah ketaatan buta, tetapi bagian dari
tradisi adab dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang telah disampaikan ulama
terdahulu, dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim misalnya.
Akan tetapi, masalah muncul ketika penghormatan itu berubah menjadi kultus individu, di mana suara santri dibungkam dan kritik dianggap dosa. Namun, hal itu tidak terjadi di semua pesantren. Sebagai contoh, adanya Lajnah Bahtsul Masail yang ada di masing-masing pesantren menjadi bukti, bahwa santri pun memiliki ruang untuk menjadi subjek dalam memutuskan persoalan kontekstual yang sedang berkembang.
Tudingan
“Jualan Agama”
Memberi uang
kepada kiai dengan niat membuat beliau senang dan membantu pesantren adalah
amal saleh yang sangat baik, selama dilakukan dengan niat yang ikhlas, cara
yang sopan, dan tidak disertai maksud duniawi. Karena bagaimana pun, banyak
santri merasa berhutang budi karena telah diasuh dan dibimbing oleh kiai. Toh
bagaimanapun, jika kita ingin membandingkannya, lebih berbahaya mana dibanding
fenomena suap-menyuap demi sebuah jabatan?
Dalam dunia pesantren yang penuh adab, ikhlas berarti memberi tanpa berharap balasan selain ridha Allah. Kiai yang bijak juga biasanya tidak akan melihat nominalnya, tetapi menilai ketulusan di baliknya. Bahkan, lebih sering kiai yang menolak pemberian santri daripada menerimanya. Juga banyak pesantren salaf yang hanya bertarif syahriyah sedikit, bahkan tidak memintanya sama sekali. Karena, pesantren hidup bukan karena memiliki modal, tetapi karena rasa saling memiliki antara kiai dan santri, dan semangat seperti inilah yang membuat pesantren tetap kokoh meskipun di tengah keterbatasan.
Kritik yang
Membangun, Bukan Menyalahkan
Kritik terhadap
pesantren tentu diperlukan. Sebagai lembaga publik, pesantren harus terus
berbenah seperti memperbaiki manajemen, memperkuat kurikulum, dan menjaga kesejahteraan
santri. Namun, kritik yang baik bukanlah tuduhan menyeluruh yang melabeli semua
pesantren dengan framing negatif. Kritik yang membangun berangkat dari
niat untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan. Kedua hal ini bisa dibedakan
dengan narasi yang dibangun dan data yang disampaikan. Tentunya hal tersebut
adalah hasil dari penelitian yang mendalam, bukan atas dasar asumsi semata.
Pesantren juga
tidak perlu alergi terhadap kritik dan masyarakat pun perlu belajar memahami
kompleksitas dunia pesantren dengan lebih terbuka. Pesantren adalah lembaga
yang hidup, dinamis, dan terus berubah seiring waktu. Ia bukan bangunan masa
lalu, tetapi lembaga yang hidup dan terus menumbuhkan generasi baru.
Karena itu,
menilai pesantren secara hitam-putih adalah kesalahan berpikir yang sama sekali
tidak bisa dibenarkan. Alih-alih menggeneralisasi bahwa semua pesantren feodal
dan anti kritik, lebih baik kita melihatnya sebagai rumah besar yang berisi
berbagai kamar; ada yang masih tradisional, ada yang modern dan ada yang sangat
progresif. Justru di tengah keragaman itulah letak kekuatan pesantren sebagai
kepanjangan tangan tujuan pendidikan di Indonesia.
https://depositphotos.com/id/photo/mature-arab-man-wearing-dishdasha-smiling-showing-money-front-camera-548732830.html
Post a Comment