Header Ads

Resensi Buku Alam Semesta dan Kebudayaan Berpengetahuan, Joko Priyono

Politik Ikan Jokowi, Omon-omon Kekuasaan, dan Hilangnya Imajinasi Kita”

 

Sekilas, ketika mendengar judul buku yang menjadi karya kesekian dari seorang karib ini, yang terlintas dalam benak saya adalah refleksi terhadap perhatian manusia pada lingkungan. Saya membayangkan sebuah seruan penyadaran agar manusia kembali ngopeni alam sekitar, seperti budaya gotong royong setiap Minggu sore untuk membersihkan area umum di tiap-tiap dukuh.
Namun, perhatian saya langsung tersita ketika membaca nama Jokowi pada tagline buku tersebut. “Betapapun ini bukan bacaan ringan,” batin saya. Kita akui bersama, Presiden ketujuh Republik Indonesia itu masih menjadi magnet yang kuat bagi publik, khususnya bagi para praktisi dan analis politik. Sekilas, saya menduga bahwa buku ini akan menjadi media untuk mengingatkan publik bahwa Jokowi masih bertanggung jawab atas berbagai kegaduhan yang kini terjadi di Indonesia, misalnya isu ijazah.
Akan tetapi, prasangka itu segera terpatahkan ketika saya mulai menyelami isi buku. Bagian awal menampilkan konsep integrasi antara anak kecil dan pembangunan peradaban dari sudut pandang alam semesta. Sebuah ikhtiar yang sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Orde Baru, yakni menanamkan karakter nasionalisme kepada masyarakat. Upaya itu bahkan dijalankan melalui doktrinasi hingga level mikro, misalnya kepada anak-anak. Penyebutan tokoh sentral dalam setiap buku pelajaran dengan nama “Budi” bisa dibaca sebagai simbol upaya penyeragaman pemikiran masyarakat Indonesia.
Jawaban dari semua itu adalah antroposentrisme. Betapapun luasnya alam semesta, manusia tetap menjadi tokoh utama, dengan segala peran yang ia mainkan, baik protagonis maupun antagonis, entah sebagai pemeran inti atau hanya figuran. Namun, kesadaran ini tidak seharusnya melahirkan kesombongan yang menempatkan alam semesta sebagai “objek mati” semata. Alam semesta harus dihormati dan diingat, setidaknya melalui upaya kecil dalam merawatnya, seperti yang dilakukan Jokowi ketika memperkenalkan program Sepuluh Nama Ikan.
Bagaimanapun juga, perjalanan peradaban manusia yang sarat dengan nuansa politis akan selalu berhadapan dengan persoalan kelestarian alam. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), misalnya, menghadirkan dilema serupa. Wacana pemerintah tentang pembangunan Green City di IKN patut dikawal dengan serius, mengingat wilayah Kalimantan sendiri merupakan bentangan alam yang begitu kaya.
Dalam perjalanannya, antroposentrisme akan menghadapi tantangan seperti eksploitasi alam berlebihan, etika terhadap lingkungan, serta keseimbangan antara hak-hak manusia dan kepentingan ekologis. Hal-hal semacam ini perlu diantisipasi sejak dini. Sebab, dalam diri manusia ada kelemahan yang tak bisa dihindari, dan di sanalah letak kekuatan alam berada. Manusia tak seharusnya merasa paling sentral, sebagaimana kutipan dr. Ryu Hasan dalam buku ini, “Semesta ini berjalan tidak dengan mengikuti karepe raimu.”
Buku ini ditulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya, seperti basis referensi yang mendalam dan luas di satu sisi, namun  di sisi lain gaya bahasa yang digunakan cenderung kurang sederhana bagi orang praktis macam saya. Namun melalui Alam Semesta dan Kebudayaan Berpengetahuan, Joko Priyono menghadirkan refleksi yang jernih dan menantang terhadap relasi manusia, kekuasaan, dan alam semesta. Ia menulis dengan gaya yang memadukan sains, filsafat, dan kritik sosial, tanpa kehilangan sentuhan humor dan kearifan lokal. Buku ini bukan sekadar bacaan ekologis, tetapi ajakan untuk menyembuhkan imajinasi kita yang telah dirampas oleh omon-omon kekuasaan dan kesombongan manusia modern.
 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.