Resensi Buku 1984, George Orwell
Belakangan ini, penjualan novel 1984 mengalami peningkatan yang cukup siginifikan, baik penjualan secara daring maupun di toko fisik. Hal ini merupakan suatu fenomena postifif, mengingat novel 1984 sudah dicetak sejak tahun 1949, 76 tahun yang lalu. Apa saja hal yang membuat novel ini kembali mengudara setelah perjalanan panjangnya mengisi etalase toko buku dan perpustkaan?
Novel 1984 bercerita tentang suatu negara diktator totalitarian
Winston Smith, tokoh utama yang diceritakan dalam novel ini hidup di satu dari tiga negara di dunia, yakni Oceania. Oceania adalah negara dengan sistem pemerintahan diktator totalitarian yang dipimpin oleh suatu sistem yang disebut “Partai” dan pemimpin tunggal yang mempunyai julukan “Big Brother”.
Sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh penguasa
Winston bekerja di Kementerian Kebenaran (Ministry of Truth), salah satu dari empat kementrian di Oceania, yaitu Kementrian Kasih (Ministry of Love), Kementrian Kelimpahan (Ministry of Plenty) dan Kementerian Kedamaian (Ministry of Peace). Keempat kementerian ini adalah lembaga pemerintahan Oceania yang memiliki kendali paling penuh atas stabilitas dan perpolitikan di Oecania.
![]() |
https://images.app.goo.gl/oFdR4NehKFuA96rr7 |
Pemberontakan, cinta dan pengkhianatan
Partai menggunakan dominasi kekuatannya untuk mengekang masyarakat dalam rangka stabilitas eksistensi partai. Berdasarkan posisi, pengaruh dan kekayaan, masyarakat dibagi menjadi dua, yakni anggota Partai dan kaum prol. Kontrol penuh cenderung diperuntukkan bagi anggota partai, mereka yang memiliki pengetahuan di atas kaum prol.
Terdapat suatu legenda pemberontakan yang dipimpin oleh Emmanuel Goldstein. Ganjaran bagi pemberontak dan pengikutnya adalah hukuman eksekusi mati, yang disebut penguapan. Smith dengan kesadarannya, mencoba memasuki dunia pemberontakan dan hanyut di dalam perjalanannya. Smith bertemu dengan cintannya, yakni Julia dan menghabiskan waktu untuk bersamanya. Sampai akhirnya dia sendiri terjebak di dalam kondisi yang dia tidak pernah pikirkan sebelumnya.
Penggunaan sejarah dan bahasa sebagai alat kekuasaan
Salah satu pekerjaan Smith adalah menyeleksi berita dari masa lampau yang terdapat di buku, majalah, surat kabar dan media lain untuk kemudian dirubah sesuai dengan kehendak penguasa yang ada di masa sekarang. Temannya, Syme bekerja di kementerian yang menyusun bahasa baru Newspeak menggantikan bahasa lama, Oldspeak.
Dari kedua hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bahasa dan sejarah sebagai alat utama dalam komunikasi dan peradaban manusia menempati posisi vital dalam kontrol terhadap masyarakat. Di dalam dunia nyata, kita saksikan berbagai peristiwa penggantian sejarah, seperti yang dilakukan oleh Fadli Zon, Menteri Kebudayaan dengan tujuan menghapus bias kolonialisme dan masih banyak penggantian sejarah lain yang dilakukan oleh manusia.
Konsep totalitarian yang merenggut hak asasi manusia
Kita melihat bahwa konsep negara diktator-totalitarian adalah suatu sistem yang tidak menghargai kodrat manusia sebagai individu merdeka. Mereka pun juga mengkhianati Sang Pencpta, karena akal dan pikiran yang diberikan tidak boleh digunakan secara manusiawi. Pada akhirnya, masyarakat hanya menjadi objek daripada suatu kelompok yang selalu rakus akan kekayaan dan kekuasaan. Masyarakat hanya menjadi sumber daya yang terus dihisap dan dibuang apabila sudah tidak berguna bagi penguasa.
Beberapa orang menganggap penulisan buku ini sebagai suatu prestasi besar bagi Orwell, karena berpikiri secara visioner berkaitan dengan pemerintah yang totaliter. Beberapa juga menganggap bahwa mereka sedang dihantui perasaan akan datangnya hantu diktator yang sifatnya hampir sama dengan Big Brother dan Partai, memaksa, mendominasi militer, membungkam kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Semoga hal ini tidak terjadi di bangsa kita tercinta, Indonesia.
Post a Comment