Header Ads

DJ Almira Berto: Pejuang Kesetaraan Abad 21

Diskotik Ibiza Club Surabaya Disebut Miliki Izin Lengkap, Disbudpar: Masih  Perlu Persetujuan DPMPTSP


Sebagai negara yang besar, bukan hanya dari segi jumlah penduduk saja, melainkan juga beragamnya budaya yang kental di tanah air, kita menyaksikan alur maju mundur daripada proses kulturisasi permusikan masyarakat. Fenomena K-Pop, ngaji majelisan, sound horeg, koplo-akustik dan masih banyak kulturisasi yang perlahan menelurkan cleveage baru di dalam tatanan sosial masyarakat.

Beberapa tahun yang lalu, publik dihebohkan dengan adanya gubahan lagu dengan musik yang berirama house music. Dengan genrenya seperti breakbeat, house-koplo, trap, dan funkot, genre ini hadir dengan sambutan positif dari masyarakat. Kesuksesan ini juga hadir karena masifikasi melalui media daring seperti Tiktok yang mana juga sedang mengalami tren positif di Indonesia.

Dari berbagai irama yang dibuat dari perangkat elektrik ini, genre yang berirama funkot-lah yang mencuri minat saya. Funky kota (kepanjangan dari funkot) hadir bak dopamin yang secara serta merta menyembuhkan perasaan galau dan meningkatkan semangat dalam aktivitas sehari-hari. Lantunan musik yang berkomposisi dengan bit rata-rata sekitar 160-220 bpm (beats per minutes). Hal ini sepertinya menjadi oase dari naik turunnya perasaan manusia.

Memang benar, funkot ini sudah masuk ke tanah air medio 1990-an melalui band asal Sunda yaitu Barakatak. Kesuksesan daripada Barakatak inipun dilanjutkan oleh pemain DJ dari Jawa Timur yaitu Almira Berto dan Tessa Morena. Mereka sukses mempopulerkan garapan musiknya baik melalui panggung diskotik atau bar, maupun melalui platform media online seperti Youtube. Hal inilah yang kemudian saya anggap sebagai fenomena unik perjuangan kelas dalam industri musik.

Hari ini, kiblat hiburan malam Indonesia kalau tidak di Jakarta ya di Bali. Sebut saja korporasi besar macam Holywings, Exodus, Brexit Club & Lounge dan Atlas Super Club. Untuk sekedar memasuki lokasi tersebut sudah dipatok dengan tarit meja yang lumayan. Penulis kurang mengetahui detail harganya, namun dari beberapa sumber didapati bahwa biaya yang tidak murah itu dihadirkan untuk hanya sekedar menikmati sajian penyegar jiwa.

Namun, ada satu fenomena unik yang terjadi di Jawa Timur bagian timur. Sebut saja di daerah Surabaya ada beberapa kelab malam yang formasi disk jockey-nya diisi oleh Almira Berto dan Tessa Morena. Ada satu perbandingan jauh, karena untuk menikmati party di sana, tarifnya berbanding terbalik dengan kelan Jakarta dan Bali. Salah satu alasannya adalah penikmat musik malam di Surabaya dan sekitarnya didominasi oleh pengusaha lokal, kondisi yang amat kontras dengan Jakarta dan Bali. Seperti yang kita ketahui, kebanyakan penikmat kelab di Jakarta dan Bali adalah para konglomerat dan pengusaha high-class dan bahkan tidak sedikit yang dipenuhi oleh kaum cindo dan sedikit pribumi (bukan bermaksud rasis, tapi memang merekalah konglomerasi kuat di Indonesia).

Untuk menunjukkan kebolehan, hanya mengeluarkan tarif sekitar 150 ribu sampai 300 ribu (seperti menyawer dan menunjukkan nama di papan backdrop. Tarif masuknya bahkan juga hanya separuh harga dari kelab Jakarta dan Bali. Hal inilah yang kemudian menjadi dealbreaker kenapa masyarakat kelas menengah memilih untuk party di Surabaya.

Ini juga yang menjadi tonggak perjuangan kelas, karena walaupun musik house bukan asli produksi Nusantara dan identik dengan kemewahan, namun para penggermar Almira Berto dan Tessa Morena berhasil mematahkan stigma tersebut. Mereka juga seolah-olah meneriakkan semangat anti-dominasi terhadap industri musik. Bahwa kesetaraan (dalam hal kebudayaan khususnya) bukanlah suatu cita-cita utopis, namun suatu realitas visioner yang bisa kita miliki kelak.


Sumber gambar: https://images.app.goo.gl/jM2d86k8x7L4Nzc4A

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.